The Power of Tehaer

The Power of Tehaer

Modernis.co, Cianjur – Momentum hari raya merupakan ajang silaturahmi besar-besaran, dimana semua anggota keluarga berkumpul dalam satu tempat. Apalagi jikalau hidup diperkampungan, budaya dor to dor atau berkunjung dari rumah ke rumah yang tak hilang dilekang jaman.

Sekalipun mereka yang bekerja atau melanjutkan pendidikan diperantauan, berapapun jauhnya jarak, hasrat ingin mengumpul itu tak bisa terelakkan. Dalam kondisi mencekam pun, dimasa pandemi ini tak menjadikan kebiasaan turun-temurun tersebut ditiadakan. Mudik dicegat dan diharuskan putar-balik, rasa nekat untuk kumpul-kumpul dibuktikan dengan berbagai cara; ada yang memberanikan jalan kaki, nangis-nangis agar aparat yang menjaga pos merasa prihatin kepadanya, hingga pura-pura kesurupan.

Tapi mungkin mereka yang berjiwa nekat mempunyai alasan yang kuat, seperti yang terdapat dalam benak penulis, “mudik dilarang, kok wna berdatangan?” atau “dijalan banyak sekali penyekatan, kok tempat wisata masih ramai banyaknya orang?” dan pertanyaan semisal. Keanehan yang menjadi misteri, ada apa dibalik semua ini? Dilarang ataupun tidak, yang namanya ‘kerumunan’ yang dijadikan dalih akan pelarangan mudik tak bisa dihindarkan. Faktanya, dimalam takbiran, ketika saya mengunjungi pasar yang terdapat di Jakarta, orang-orang rantau yang tak bisa pulang ke kampungnya berkumpul disitu, sembari berbelanja untuk hari esok.

Hal ini seharusnya menjadi bahan evaluasi, kalaupun mau memutus mata rantai penyebaran covid-19, tidak hanya mudik yang dilarang, tapi akses perbelanjaan, tempat wisata, dlsb ditutup juga, agar adil dan benar-benar bahwa pemerintah bersikap serius dalam menangani wabah ini.

Sebagian yang taat kepada pemimpin, yang menjalani kehidupan dikota orang, memilih untuk silaturahmi virtual atau dalam kata lain mudik online. Mereka tetap menyiapkan pakaian spesialnya, kue lebaran sebagai teman ngobrol, dan yang paling disukai, terkhusus anak-anak ialah tehaer. Biasanya diberikan setelah sungkeman. Ada pula karena ingin menarik, diadakan perlombaan kecil-kecilan, menambah keseruan dan pemasukan anak atau keponakannya.

Tehaer atau tunjangan hari raya jangan ditafsirkan sedekah satu hari, agar tidak berhenti disitu saja. Budaya ini haruslah menjadi sinyalemen, kapanpun dan dalam kondisi apapun, berbagi menjadi suatu kebiasaan.

Beragam timbal-balik dari Allah Swt. baik yang termaktub dalam al-kitab maupun hadits rasulNya. Seperti dalam surah Saba ayat 39, yang artinya, “Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya, dan Dia-lah Pemberi rizki sebaik-baiknya”.

Ayat diatas menunjukkan, ketika kita mengulurkan tangan, menolong sesama dengan berbagi apa yang kita punya, sang Maha Pemberi pun akan mengganti bahkan dilipatkangandakan olehNya,

Terkadang keinginan berbagi selalu berpikir dua kali, khawatir hartanya berkurang. Padahal sama sekali tidak! Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, Rasulullah Saw. bersabda, “Sedekah tidaklah mengurangi harta”.

Dijelaskan oleh Yahya bin Syarf an-Nawawi dalam Al Minhaj Syarh Sahih Muslim, setidaknya ada dua tafsiran dari makna hadits tersebut. Pertama, harta tersebut akan diberkahi dan akan dihilangkan berbagai dampak bahaya padanya. Kekurangan harta tersebut akan ditutup dengan keberkahannya. Kedua, walaupun secara bentuk harta tersebut berkurang namun kekurangan tadi akan ditutup dengan pahala di sisi Allah dan akan terus ditambah dengan kelipatan yang amat banyak.

Tak tanggung lagi, siapapun yang mengeluarkan hartanya untuk menolong sesama, apalagi jika dilakukannya dibulan ramadhan, bonus pahalanya pun lebih besar. Meski begitu, dibulan lain pun tetap Allah pastinya melipatgandakan kebaikan yang dilakukan.

Sebagai umat manusia, tangan diatas lebih baik daripada tangan dibawah. Maksudnya, memberi meskipun sedikit nominalnya lebih disukai Allah daripada meminta-minta. Justru, seharusnya ada rasa malu ketika tangan dibawah melulu, “kapan ya dapat berbagi kepada mereka yang membutuhkan?” Itulah sikap yang harus ditanamkan didalam diri kita.

Tak mengapa jikalau bisanya sedikit dalam memberi, karena Allah tak melihat dan menilai dari besar atau kecilnya jumlah, tapi keikhlasannya.

Bahkan membantu mengangkatkan ember yang berisikan air dari sumur menuju ke kediamannya itu sedekah pula, atau menyingkirkan kerikil yang menghalangi jalan atau hal sepele lainnya. Karena semua berawal dari hal terkecil, yang mewujud besar dikemudian hari.

Mungkin sekarang nominalnya tiga puluh ribu, tahun depan tiga ratus ribu, karena bener-bener yakin akan janji Allah yang tidak hanya dibalas didunia, diakhirat pun akan meraihnya, maka disetiap tahunnya ditambah jumlahnya, semakin banyak pahala yang didapatkan olehnya. Jadi, jangan takut untuk miskin, percayalah bahwa Allah akan mengganti dengan yang lebih.

Oleh : Zidan Fathur Rahman (Pegiat Institute Alfursan Cianjur)

editor
editor

salam hangat

Related posts

Leave a Comment